Posted on

PERANG ACEH 1873-1904

1.1 LATAR BELAKANG
Pada awal abad XIX hegemoni kerajaan Aceh di Sumatera bagian utara sudah menurun, tetapi kedaulatannya masih diakui oleh negara Barat. Bahkan berdasarkan Traktat London tahun 1824 menjamin kemerdekaan dan integritas kerajaan Aceh. Para perompak di lautan sekitar Aceh menghalangi perdagangan sehingga pemerintah Belanda berusaha menghentikan nya dengan cara perundingan dan ekspedisi.
Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda. Dicantumkan kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak serta perompakan. Penetrasi colonial maju lagi selangkah dengan adanya Traktat Siak tahun 1857, perjanjian yang ditentang oleh Sultan Aceh karena bertentangan dengan hegemoni Aceh. Untuk mencegah penetrasi lebih lanjut dikerahkan di pantai timur Sumatra akan tetapi akhirnya Deli Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda.(Nyoman Deker, 1974:126-128)
Kekeruhan di Selat Malaka bertambah dahsyat sehingga timbul protes dari pihak Inggris, ditambah lagi dibukanya Terusan Suez, perairan tersebut mempunyai kedudukan yang strategis karena terletak di urat nadi perkapalan internasional. Kerajaan Aceh mengadakan hubungan dengan Turki, Inggris, dan Amerika. Keadaan ini mendesak Inggris dan Belanda untuk melakukan perjanjian. Terjadilah Traktat Sumatera 2 November 1871, Belanda diberi kebebasan melakukan perluasan kekuasaan di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah Siak.
Traktat itu memberi keleluasaan untuk meneruskan agresinya, Aceh melakukan diplomasi dengan Italia dan AS tetapi gagal. Setelah ultimatum tidak ditanggapi, pada tanggal 26 Maret 1873 Pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang terhadap Aceh.

1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa latar belakang Perang Aceh?
2. Bagaimana periode peperangan di Aceh?
3. Bagaimana berakhirnya Perang Aceh?
1.3 TUJUAN
1. Penulis dapat mengetahui latar belakang Perang Aceh.
2. Penulis dapat mengetahui periode peperangan di Aceh.
3. Penulis dapat mengetahui berakhirnya Perang Aceh.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Latar Belakang Perang Aceh
Adanya Traktat London (1824), maka gerakan Belanda untuk menguasai daerah Sumatera bagian utara terhalang, tetapi lambat laun terdapat kelonggaran karena hubungan Inggris-Belanda semakin membaik. Inggris juga lebih memperhatikan India dan Burma. Belanda mempergunakan kesempatan ini sebaik-baiknya. Pada tanggal 30 Maret 1857 ditandatanganilah kontrak antara Aceh dan Hindia Belanda. Dicantumkan kebebasan perdagangan dan larangan perdagangan budak serta perompakan. Penetrasi colonial maju lagi selangkah dengan adanya Traktat Siak tahun 1857, perjanjian yang ditentang oleh Sultan Aceh karena bertentangan dengan hegemoni Aceh. akan tetapi akhirnya Deli Serdang, dan Asahan jatuh ke tangan Belanda.
Pada tahun 1870 Singapura telah berdiri dan berkembang dengan pesatnya, sehingga Inggris memberikan kesempatan kepada Belanda untuk menaklukkan Aceh. Dibukanya Terusan Suez membuat perairan tersebut mempunyai kedudukan yang strategis karena terletak di urat nadi perkapalan internasional. Kerajaan Aceh mengadakan hubungan dengan Turki, Inggris, dan Amerika. Keadaan ini mendesak Inggris dan Belanda untuk melakukan perjanjian. Terjadilah Traktat Sumatera 2 November 1871, Belanda diberi kebebasan melakukan perluasan kekuasaan di Aceh. Sedang Inggris mendapat kebebasan berdagang di daerah Siak.
Adanya Imperialisme Barat yang berlomba-lomba menguasai Asia Tenggara, terutama Belanda yang melakukan “Politik Pax Neerlandica” serta anggapan dunia luar bahwa keamanan pelayaran ada dibawah tanggung jawab Belanda. Factor inilah yang merupakan latar belakang pokok mengapa Belanda berkeinginan menguasai Aceh. (Sartono Kartodirdjo,1987:83)
Tahun 1871, Belanda dan Inggris menandatangani Traktat Sumatera, yang berisi Belanda diijinkan bertindak bebas di Aceh. Belanda juga menjual Guinea kepada Inggris sebagai balasannya. Traktat ini juga menyebabkan penanam modal asing dengan bebas menanamkan modalnya di Indonesia.

2.2 Periode Perang Aceh
Perang Aceh dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
2.2.1 Periode Perang I (1873-1880)
Sebelum perang meletus, Aceh telah mengadakan hubungan dengan luar negeri (Turki, Inggris, Amerika dan Perancis) tetapi mengalami kegagalan. Penguasa Aceh sudah memprediksi tentang kemungkinan politik Belanda yang keras terhadap Aceh.
Pada tanggal 23 Maret 1873, datang ekspedisi Belanda yang pertama dibawah pimpinan Mayor Jenderal J.H.R. Kohler, Kohler mengirimkan ultimatum perang terhadap Aceh. Secara diplomatis Sultan Aceh menolak ultimatum tersebut, sehingga Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. (Sartono Kartodirdjo,1987:80)
Serangan pertama dibawah pimpinan Kohler dengan tujuan menguasai Masjid Raya dan Kraton. Masjid Raya dapat diduduki oleh Belanda dan dijadikan tangsi militer. Dalam pertempuran memperebutkan Masjid Agung di ibukota Aceh pada tanggal 14 April 1873, pemimpin pasukan Belanda Jenderal Kohler dapat ditewaskan oleh pasukan Aceh. Tiga hari setelah Kohler tewas, Belanda mengundurkan diri ke pantai dan setelah mendapatkan izin dari pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 23 April untuk kembali ke Pulau Jawa, mereka lalu mengangkat sauh meninggalkan Aceh pada tanggal 29 April 1873.
Pada 24 Januari 1874 Belanda berhasil menduduki istana, tapi Sultan tanggal 15 Januari telah mengosongkannya dan bersama-sama Teuku Baid menuju Luengbata. Karena serangan kolera ia mangkat disana pada tanggal 28 Januari 1874.
Pada tanggal 31 Januari 1874, Letnan Jenderal J. van Swieten memproklamasikan bahwa kerajaan Aceh sudah ditaklikan dan daerah Aceh Besar dinyatakannya menkadi milik pemerintah Hindia Belanda. Belanda menyangka bahwa dengan pendudukan istana, dengan menguasai sebagian kecil dari daerah Aceh Besar dan dengan secarik kertas proklamasi sudah cukup untuk membuat Aceh bertekuk lutut. Tetapi perlawanan rakyat Aceh melalui perang gerilya masih terus berlanjut.
2.2.2 Periode Perang II (1880-1890)
Kelesuan semangat perjuangan Aceh mendapatkan angina segar dengan tampilnya tokoh Teungku Hadji Saman dari Tiro kemudian dikenal dengan nama Teungku Chik di Tiro bertindak sebagai panglima besar dalam peperangan ini dan bertugas menghimpun pejuang-pejuang Aceh yang berada di daerah-daerah yang berbeda.
Pada tahun 1881 Van der Heyden pulang ke Jawa, pemerintahan diserahkan kepada gubernur Van der Hoeven, taktik operasional Belanda mulai dirubah dengan taktik defensive, untuk meringankan biaya perang. Untuk menjaga keamanan di daerah Aceh Besar dilancarkan taktik garis konsentrasi yang berlangsung selama tahun 1884-1896. Sistem ini oleh para pejuang Aceh, tidak dihiraukan. Para pejuang itu dapat dengan mudah masuk ke daerah kekuasaan Belanda dan menyerang benteng-benteng di wilayah tersebut.
Peristiwa “Hok Canton” pada tahun 1886 berlabuhlah kapal Inggris “Hok Canton” dengan tujuan mmbeli lada dan menjual senjata secara gelap. Teuku Umar yang berkuasa di Aceh Barat menyergap kapal tersebut serta merampas isinya. Peristiwa ini menarik dunia internasional, kini dunia tahu apa yag sebenarnya terjadi antara Aceh dan Belanda.
Tahun 1889 Sultan Daud mencoba mengajak para pemimpin-pemimpin perang Aceh berdamai dengan Belanda, tetapi ajakan ini ditolak oleh mereka dan perang tetap berlangsung. Pada tahun 1891 Teungku Chik di Tiro wafat karena diracun oleh mata-mata utusan Belanda. (Sartono Kartodirdjo,1978:252)
2.2.3 Periode Perang III (1890-1904)
Setelah Teungku di Tiro meninggal maka pimpinan peperangan berada di bawah dua kekauatan yaitu Teuku Umar dan putra Teungku Chik di Tiro Teungku Muhammad Amin. Kedua pemimpin ini berbeda pandangan keduanya tak dapat didamaikan. Tahun 1893 Teuku Umar menyerah dan bekerjasama dengan Belanda untuk melawan para pejuang Aceh.
Adanya taktik politik Umar yang menyerah kepada Belanda menimbulkan kecurigaan pegawai-pegawai tinggi Belanda. Hanya Gubernur Aceh yang percaya penuh terhadap Umar. Tahun 1896 Muhammad Amin wafat ketika berperang melawan Belanda dan Umar mempertahankan benteng Aneuk Galong. Maka Acehpun kehilangan pemimpin perangnya.
Walaupun demikian peperangan tetap berlanjut sebab ini sesuai struktur masyarakat Aceh, yaitu adanya kekuasaan-kekuasaan lokal yang berdiri sendiri-sendiri. Pada tahun ini juga Umar membelot terhadap Belanda dan kembali memihak kepada para pejuang Aceh. Peristiwa ini mengakibatkan kegemparan di pihak Belanda. Gubernur Aceh Duykerhoff dianggap melakukan kesalahan politik yang besar karena itu dia diberhentikan dari jabatannya.
Dr. Snouck Hurgronje seorang sarjana ketimuran, dia merupakan penasehat Gubernur Jenderal. Dahulu dia diberi kesempatan untuk mengadakan penyelidikan di Aceh (1891-1892). Disana dia bergaul dengan orang-orang Aceh secara bebas dengan nama samara “Abdul Gaffar”. Dia berpendapat bahwa susunan masyarakat pada waktu itu daerah Aceh berhutan lebat yang disebut Tunong dan system garis konsentrasi yang diterapkan Belanda sangat tidak cocok karena bersifat see and wait. Diusulkan agar diganti dengan poltik ofensif sampai rakyat Aceh menyerah.
Van Heutsz dan Van Daalen setuju dengan pendapat Snouck Hurgronje, kemudian VVan Heutsz daingkat menjadi Gubernur Aceh dan Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasehatnya pada tahun 1898. Sejak tahun 1896 pasukan Marsose Belanda dikerahkan untuk menggempur Aceh. Van Heutsz terus berusaha mengepung Umar, pada waktu pertempuran di Meulaboh Umar gugur (1899). Dengan peristiwa ini nama Van Heutsz menjadi terkenal. (Sartono Kartodirdjo,1978:252)
Pasukan Umar telah kehilangan pimpinan, tetapi pimpinnan diambil alih oleh isterinya Cut Nyak Din. Pengepungan oleh Van Heutsz tetap dilanjutkan terhadap sisa-sisa pasukan Umar. Akhirnya Cut Nyak Dhin dapat ditangkap di Takeungon.

3.1 Berakhirnya Perang Aceh
Para pejuang Aceh masih memiliki benteng yang tak terkalahkan yaitu Benteng Batee Ilie. Ketika benteng ini diserang Belanda pejuang Aceh mempertahankan benteng ini dengan semangat yang luar biasa. Disini terjadi pertempuran sengit, Akhirnya Benteng ini dapat dikuasai Belanda pada tahun 1899. Dengan jatuhnya benteng ini situasi perang semakin menurun.
Kedudukan Sultan sudah sangat terjepit akibat kepungan-kepungan Belanda, Pada tahun 1903 maka menyerahlah Sultan Sigli dan Panglima Polim di Lho Seumawe. Para pemimpin tinggi Aceh yang telah menyerah itu diharuskan menandatangani Pelakat Aceh, yang kemudian pelakat ini dikenal dengan nama Pelakat Pendek (Korte Verklaring). Yang isinya:
1. Kedaulatan Belanda Harus diakui.
2. Tak akan mengadakan hubungan dengan luar ngeri.
3. Patuh akan perintah-perintah Belanda.
Walaupun pkalat ini isinya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam yaitu penyerahan total kepada Belanda. Menyerah secara de facto. Pada tahun 1904 secara umum dianggaplah perang Aceh telah selesai. Nama Van Heutsz makin menanjak karena sukses ini, dan dia diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda. Dan Van Daalen diangkat sebagai gubernur Aceh (1904). (Nyoman Deker, 1974:146-147)
Sebenarnya perlawanan rakyat Aceh masih terus berjalan sampai Jepang tiba di Indonesia. Kadang perlawanan ini bersifat kelompok kadang juga bersifat individual sasarannya tetap penjajah kafir. Malahan pada Perang Kemerdekaan Aceh tidak pernah diinjak oleh Belanda.

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kesimpulan dari makalah ini yaitu:
1. Latar belakang Perang Aceh, yang utama yaitu Adanya Imperialisme Barat yang berlomba-lomba menguasai Asia Tenggara, terutama Belanda yang melakukan “Politik Pax Neerlandica” serta anggapan dunia luar bahwa keamanan pelayaran ada dibawah tanggung jawab Belanda. Factor inilah yang merupakan latar belakang pokok mengapa Belanda berkeinginan menguasai Aceh.
2. Perang Aceh dibagi menjadi tiga periode, Periode Perang I (1873-1880), Periode Perang II (1880-1890), Periode Perang III (1890-1904).
3. Berakhirnya Perang Aceh ditandai dengan penandatangan Plakat Pendek oleh Sultan Sigli dan Panglima Polim pada tahun 1904.

DAFTAR PUSTAKA

Deker,Nyoman. 1974. Sejarah Indonesia dalam Abad XIX 1800-1900. Malang: YPTP IKIP Malang.
Kartodirdjo,Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo,Sartono. 1978. Sejarah Perlawanan-perlawanan Terhadap Kolonialisme. Jakarta: Gramedia
Pusonegoro, Marwati Joenad. 1990. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: Balai Pustaka

About rharajingga

mahasiswa universitas negeri semarang,fakultas ilmu sosial,pendidikan sejarah 2012

Leave a comment